Tuesday, 11 May 2010

Negara dalam Perspektif Hukum Islam

A. Pendahuluan
Islam merupakan suatu totalitas yang bersifat komprehensif dan luwes. Islam sebagai al-din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan dan hukum. Al-Qur’an tidak mengenal doktrin pemisahan antara kehidupan agama dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu paham sekularisme yang ingin memisahkan antara kehidupan agama dengan kehidupan masyarakat tidak dikenal dalam ajaran Islam. Islam dan hukum Islam mencakup baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi.

B. Negara dan Agama
Dikalangan cendikiawan muslim, polemic tentang hubungan antara agama dan negara masih terjadi perbedaan pendapat, di Indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau pandangan yaitu pendapat atau pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi. Nurcholis Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut:
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spritual dan pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini jelas telah memisahkan antara kehidupan agama dan negara. Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa.
Dengan konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara negara dan agama, M.Thahir Azhary berpendapat baik Nurkholis Madjid maupun Mintaredja telah terjebak ke alam pikiran yang rancu, karena menurutnya, Islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama dalam arti yang luas. Dengan demikian menurut M, Tahir Azhary , konklusi Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai “way of Life now in the earth and in the heaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah Islam merupakan suatu totalitas yang komprehensif dan karena itu tidak mengenal pemisahan antara kehidupan agama dan negara.
Berdasarkan fakta otentik, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin Al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan antara hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat Ali Imran, ayat 112. Ayat tersebut diperkuat lagi dengan firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 58 – 59 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) menetapkan hubungan diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu sekalian.” (al-Nisa’ : 58-59).
C. Agama dan Hukum
Dalam pemikiran Barat Agama telah dilepaskan dari wilayah hukum karena pengaruh rasionalisme dan Aufklarung yang bersifat dominan. Tetapi Friedrich Julius Stahl masih mengakui adanya pengaruh agama terhadap hukum. Ia berpendapat bahwa hukum juga memperoleh kekuatan mengikat dari ordonansi Ketuhanan yang menjadi sandaran negara. Sekalipun hukum adalah produk manusia, tetapi hukum dipergunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia Ketuhanan. Karena tidak ada hukum yang tidak membantu dunia Ketuhanan. Karena tidak ada hukum yang tidak membantu ke arah itu, maka hukum yang terburuk pun masih mempunyai sanksi Ketuhanan. Tampaknya ajaran Stahl tentang agama dan hukum pada masa kini secara umum tidak membekas lagi dalam pemikiran para ahli hukum di Barat.
“Hukum bukanlah hanya satu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan saja, yang semata-mata hanya bertakluk kepada unsur-unsur yang ada dalam pergaulan manusia dengan manusia saja dalam masyarakatnya itu. Selain dari perhubungan antar manusia dengan manusia yang dengan demikian merupakan masyarakat sesama manusia, setiap manusia yang menjadi anggota masyarakat itu mempunyai pula – mau tak mau – perhubungan roh dengan Roh Akbar, yakni perhubungan dengan Tuhannya Yang Maha Esa kepada siapa tergantung hidup matinya, demikian juga hidup kemasyarakatannya.
Hukum Islam memiliki ciri khas, karena ia tidak pernah memisahkan hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan hidupnya, terutama dengan Allah – Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta. Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Roger Garaudy, di dalam hukum Islam tidak ada immobilisme (sifat beku). Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah, ia mengandung nilai abadi yang tidak bertentangan dengan vitalitas yang kreatif dan premanen, bahkan dalam hukum Islam terkandung sifat itu.
Adapun substansi hukum Islam jelas mencakup bidang yang lebih luas dibandingkan dengan konsep hukum barat. Hukum Barat membatasi substansi itu pada aturan tingkah laku manusia yang normative, sedangkan hukum Islam mencakup pula kesusilaan. Demikian eratnya hukum dengan kesusilaan dalam Islam telah dimanifetasikan oleh teori-teori para pendiri mazhab dalam hukum Islam, antara lain Imam Syafi’i melalui al-khamsah atau lima kaidah-kaidah jaiz, mubah atau kebolehan, sunnah (anjuran, makruh (tercela), wajib (keharusan) dan haram (larangan). Dalam Islam, hukum dan kesusilaan tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dalam konsep Barat.

D. Nomokrasi Islam
Dalam sistem hukum Islam dengan sifatnya yang komprehensif itu dijumpai aspek-aspek hukum ketatanegaraan yang dinamakan al-ahkam al-sultaniya. Imam Al-Mawardi dalam bukunya yang berjudul Al Ahkam a; Sulthaniyah wa al-wilayat al-diniyah, cukup jelas membahas masalah hukum ketatanegaraan menurut hukum Islam. Buku tersebut saat ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum Tata Negara” dan Kepimpinan dalam Takaran Islam. Kecuali itu, pemikiran tentang negara pula diletakkan dasar-dasarnya oleh seorang pemikir Islam yang terkenal dan telah diakui otoritasnya oleh sarjana Barat yaitu Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun telah menemukan tipologi negara dengan menggunakan tolak ukur kekuasaan. Pada dasarnya ia menggambarkan dua keadaan manusia yaitu keadaan alamiah dan keadaan yang berperadaban. Dalam keadaan yang terakhir inilah manusia mengenal gagasan negara hukum.
Adapun nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut: (1) Prinsip kekuasaan sebagai amanah (2) prinsip musyawarah (musyawarat). (3) Prinsip peradilan (4) Prinsip persamaan (5) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (6) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. (7) prinsip kedamaian. (8) Prinsip kesejahteraan dan (9) Prinsip ketaatan rakyat.

1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang diberi amanah harus menyampaikan amanah itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Nisa’ ayat 58 yang artinya “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Dalam konteks “kekuasaan negara” perkataan amanah itu dapat dipahami sebagai suatu pengdelegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai “mandat” yang bersumber atau berasal dari Allah.

2. Prinsip Musyawarah
Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam nomokrasi Islam. Ayat pertama terdapat dalam Surat Al-Syura, ayat 38 yang artinya kurang lebih sebagai berikut :
“…adapun urusan kemasyarakatan diputuskan dengan musyawarah antara mereka”. Ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masalah atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Dalam sebuah hadits, Nabi digambarkan sebagai orang yang paling banyak melakukan musyawarah.

3. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan mencakup prinsip ketiga dalam nomokrasi Islam. Dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan keadilan. Kata adil adalah kata terbanyak disebut dalam Al-Qur’an (lebih dari seribu kali) setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Karena itu dalam Islam, keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Dalam Al-Qur’an dengan tegas disebutkan bahwa orang yang beriman wajib menegakkan keadilan. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan kata-kata atau enggan menjadi sanksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.”
Apabila prinsip keadilan dikaitkan dengan nomokrasi Islam, maka ia harus selalu dilihat dari segi fungsi kekuasaan negara. Fungsi itu mencakup tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan.
Pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan negera dengan adil, jujur dan bijaksana. Seluruh rakyat – tanpa kecuali – harus dapat merasakan “nikmat” keadilan yang timbul dari kekuasaan negara.
Kedua, kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya. Hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya.

4. Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari Al-Qur’an surat al-Hujarat, ayat 13 yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuka-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”

5. Prinsip Pengakuan dan Perlidungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam nomokrasi Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Karena it dalam hubungan yang dimaksud dengan anak Adam di sini adalah manusia sebagai keturunan Nabi Adam. Ayat diatas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang ada di dalam teks al-Qur’an disebut karama (kemuliaan). Mohammad Hasbi Ash-Shiddiegy membagi karamah itu ke dalam tiga kategori yaitu: (1) kemuliaan pribadi atau karamah fardiyah; (2) kemuliaan masyarakat atau karamah itimaiyah; dan (3) kemuliaan politik atau keramah siyasiyah. Dalam kategori pertama, manusia dilindungi baik pribadinya maupun hartanya. Dalam kategori kedua “status persamaan manusia dijamin sepenuhnya” dan dalam kategori ketiga nomokrasi Islam meletakkan hak-hak politik dan menjamin hak-hak itu sepenuhnya bagi setiap orang warga negara, karena kedudukannya yang didalam al-Qur’an disebut sebagai “khalifah Tuhan di bumi”

6. Prinsip Peradilan Bebas
Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi Islam seorang Hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang ia ambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Dalam surat al-Nis’ ayat 57 disebutkan …. Apabila kamu menetapkan hukum antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil”. Putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Seorang Yuris Islam terkenal yakni Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasannya tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa apabila ia melanggar hak-hak rakyat.

7. Prinsip Perdamaian
Salah satu tugas pokok yang dibawa Rasulullah melalui ajaran Islam adalah mewujudkan perdamaian. Islam sendiri merupakan agama perdamaian. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 208 dengan tegas Allah menyeru kepada umat manusia untuk beriman agar masuk dalam perdamaian” Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu semua dalam perdamaian”.
Apabila tindakan kekerasan atau perang dilakukan. Rasulullah SAW telah memberikan beberapa kaidah dalam hukum perang dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Nabi telah menetapkan beberapa larangan yang harus diindahkan oleh pasukan Islam.”
(1) Dilarang melakukan pembunuhan terhadap musuh (lawan dalam peperangan) secara kejam dan melampaui batas kemanusiaan
(2) Dilarang membunuh penduduk sipil termasuk kaum wanita, anak-anak, orang tua, orang cacat, biarawan, para pertapa dan orang-orang sakit.
(3) Dilarang membunuh tawanan perang
(4) Dilarang memenggal kepala mayat musuh
(5) Dilarang membunuh musuh setelah musuh dikalahkan atau sesuatu daerah telah berhasil diduduki.
(6) Dilarang menyerang musuh yang berlindung dibelakang wanita, anak-anak dan orang Islam yang dijadikan sandera.
(7) Dilarang menganiaya tawanan perang
(8) Dilarang merusak tempat-tempat ibadah pihak musuh.

8. Prinsip Kesejahteraan
Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara dan masyarakat. Pengertian keadilan dalam nomokrasi Islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materil atau kebendaan saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat.
9. Prinsip Ketaatan Rakyat
Prinsip ketaatan rakyat kepada pemerintah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah kepada Allah dan taatilah kepada Rasul-Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kami berbeda pendapat tentang suatu sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah kemudian dan hari kemudian. Yang demikian it lebih utama bagimu lebih baik akibatnya.
Adapun ketetapan-ketetapan ulil amri dalam arti sebagai petugas-petugas kekuasaan negara, menurut Hazairin ada dua macam yaitu:
(a) Ketetapan yang merupakan pemilihan atau penunjukan garis hukum yang setepat-tepatnya “untuk dipakaikan pada suatu perkara atau kasus yang dihadapi“ baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul
(b) Ketetapan yang merupakan pembentukan garis hukum yang baru “bagi keadaan baru menurut tempat dan waktu, dengan berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah”. Kategori ini dinamakan hasil ijtihad dengan menggunakan al-ra’yu

2 comments:

Fathimah at-Thahirah said...

ok makasih buat makalahnya!
salam kenal :D

Abu Shout said...

islam tidak spesifik memberikan konsep tentang negara bukan berarti ajaran islam tidak komperhensif tapi justru islam memberikan kebebasan untuk menyelenggarakan kepemimpinan itu dengan sistem apapun dan bentuk apapun mau bentuk negara atau khilafah mau demokrasi,teokrasi karena semua itu bukan hal yang prinsip di dalam islam yang paling prinsip adalah bagaimana semua itu diselengarakan diatas Syariat islam.istilah negara,demokrasi teokrasi khilafah itu hanya istilah politik bagi mereka yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaanya dan bagi mereka yang diluar kekuasaan mencoba untuk mendapatkan kekuasaan itu...