Dulu, Kabupaten Semarang termasuk wilayah Kesultanan Demak. Daerah ini diperintahm oleh seorang Bupati bernama Ki Ageng Pandanaran. Beliau seorang Bupati yang ditaati brakyat. Selain berwibawa, beliau juga kaya raya.
Akan tetapi, lama-kelamaan beliau makin gila kekayaan. Makin hari, ia semakin memperkaya diri sendiri. Rakyat tidak diperdulikannya lagi.
Sunan Kalijaga, penasehat Sultan Demak, bermaksud mengingatkan sang Bupati. Dengan berpakaian compang-campng, beliau menyamar sebagai pedagang rumput.
“Gusti, hamba membawa rumput yang hijau. Sudikah Gusti membeli?” tawar Sunan Kalijaga kepada sang Bupati.
“Jika boleh dibeli dengan harga murah, bolehkah,” jawab Ki Ageng.
“Mengapa Gusti tidak menghargai jerih payah orang miskin?” tanya Sunan.
“Heh, lancing kamu! Pergilah, atau saya suruh prajurit menagkapmu” bentak Ki Ageng tersinggung.
“Baik, saya akan pergi Gusti. Akan tetapi, jika Gusti ingin kekayaan, hamba bisa menunjukkan cara yang lebih muda,” kata Sunan.
“Hai, orang miskin! Jangan bicara sembarangan didepan Bupati! Saya bisa menghukummu. Akan tetapi, baiklah. Jika kamu bisa menunjukkan cara mencari kekayaan dengan mudah, ayo, tunjukkan! Akan tetapi, ingat! Jika kamu bohong, hukuman mati harus kamu terima,” kata Ki Ageng.
Baik Gusti. Tolong hamba minta sebuah cangkul!” pinta Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga lalu mencangkul tanah di depan Kabupaten. Ki Ageng begitu melihat bongkahan emas sebesar kepala kerbau di balik tanah yang dicangkul Sunan Kalijaga. Ki Ageng lalu memperhatikan pedagang rumput itu dengan seksama. Setelah tahu siapa ia sebenarnya, ia pun terkejut.
“Maafkan, Sunan! Hamba salah, hamba siap dihukum,” sembah Ki Ageng kepada Sunan.
“Baik, Adipati. Saya minta Adipati bisa kembali memerintah dengan cara yang benar. Pentingkan rakyat dan ingatlah kehidupan akhirat,” ujar Sunan Kalijaga.
“Hamba laksanakan, Sunan,” sahut Ki Ageng.
Sejak kejadian itu, hidup Ki Ageng menjadi gelisah. Beliau lalu memutuskan untuk menebus kesalahannya. Beliau meninggalkan jabatan Bupati. Beliau ingin mengikuti jejak Sunan kalijaga menjadi penyiar agama.
“Nyai Ageng, sesuai dengan saran Sunan Kalijaga, aku harus pergi ke arah selatan, setelah sampai di Gunung Jabalkat, aku akan mendirikan pesantren. Besok aku berangkat,” kata Ki Ageng kepada isterinya.
“Ki, aku ikut,” jawab Nyai Ageng.
“Boleh, tetapi Nyai tidak boleh membawa harta benda,” kata Ki Ageng.
Pada waktu yang ditentukan, Nyai Ageng belum siap. Beliau masih sibuk. Nyai Ageng ternyata mengatur perhiasan yang akan dibawanya dalam tongkat bambu. Ki Ageng lalu berangkat duluan.
Setelah siap, Nyai Ageng lalu menyusul. Ditengah jalan, Nyai Ageng dicegat tiga perampok yang meminta hartanya. Akhirnya, semua perhiasan yang dibawa diberikannya kepada para perampok.
Nyai Ageng menyusul Ki Ageng. Setelah bertemu, Nyai Ageng menceritakan peristiwa yang telah dialaminya.
“Tadi sudah saya katakan, jangan membawa harta benda. Itulah akibatnya. Tetapi, baiklah, Nyai. Sebentar lagi kita akan sampai. Kelak, tempatmu dirampok tadi akan bernama “Salatiga”, berasal dari kata “Salah dan tiga”, yaitu tiga orang yang bersalah,” ujar Ki Ageng.
No comments:
Post a Comment