Agenda pelaksanaan pemilihan calon anggota legeslatif dan anggota DPD tinggal beberapa hari lagi. Persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari oleh semua pihak, mulai dari KPU dan ‘relawannya’ sampai dengan Caleg dan simpatisannya. Tapi, persiapan justru tidak begitu ketara di golongan pemilih. Sebagian besar, aku yakin belum memiliki kesiapan khusus menyambut datangnya pesta demokrasi 5 tahunan ini, termasuk persiapan untuk menentukan pilihan politiknya.
Beberapa orang (pemilih), memang sudah mempersiapkan datangnya hari pemungutan suara dengan matang. Sejak dimulainya masa kampanye beberapa bulan lalu, golongan masyarakat yang seperti ini sudah mencermati dengan seksama terhadap tindak-tanduk parpol dan calegnya. Tak lain dan tak bukan, ini semua dilakukan agar tidak salah pilih. Sebagian pihak memandang ini adalah hal yang harus dilakukan. Kepercayaan tidak begitu saja diberikan kepada orang yang baru dikenal. Jadi, harus tahu track record caleg dan parpolnya.
Tapi, masih ada banyak masyarakat negeri ini yang belum mempersiapkan hal ini. Termasuk persiapan pilihan. Ada yang memang tidak mengerti agenda pemilu, ada yang tidak memahami esensi pelaksanaan pemilu, atau bahkan ada yang sudah antipati dengan pemilu. Masing-masing orang mempunyai kondisi yang berbeda.
Menyorot golongan ketiga (dari tiga golongan yang aku sebut tadi), yakni golongan yangg apatis dan antipati, sebenarnya apa yang sudah menjadikan seseorang demikian? Bukan karena sebab lain. Sebenarnya semuanya bermuara dari apa yang sudah terjadi di masa-masa sebelumnya. Bagaimana perilaku para elit politik yang sudah diberi mandat oleh rakyat, bertindak tidak sesuai harapan pemilihnya. Banyak sekali kasus ‘memalukan’ yang bisa dicermati masyarakat. Muara dari semua ini adalah keengganan seseorang untuk memilih dan memilih. Toh, yang dipilih juga tidak amanah dan lupa akan janji saat kampanya.
Sebenarnya golput itu kan bukan hal yang aneh. Kalau kita tinggal di desa, kan ada pemilihan kepala desa. Jika yang ada hanya satu calon saja, maka gelaran pemungutan suara tetap dilakukan. Tetap dilakukannya pemungutan suara ini untuk mengetahui seberapa banyak pemilih calon tersebut dan juga sebagai ‘amanah psikologi’ si calon. Apapun hasilnya, sebenarnya tidak berpengaruh karena yang akan menjadi kades ya dia. Tapi secara psikologis, jika yang tidak memillih lebih besar dari yang memilih bagaiamana? Nilai legitimasi masyarakat, sebenarnya itu tujuannya.
Kalau kasusnya sudah demikian, apakah fatwa haram golput cukup efektif untuk menekan angka golput? Bukankan memilih atau tidak itu bagian dari pilihan (politik) juga? Terus, sebenarnya siapa yang harus disalahkan jika kondisi ini (nantinya akan) terjadi? Memang, bukan saatnya lagi untuk menunjuk siapa yang salah dan siapa yang benar. Akan tetapi, semakin tingginya kesadaran politik masyarakat akan membawa dampak beragamnya pilihan politik yang akan diambil, termasuk golput.
Apapun besok yang akan terjadi, mudah-mudahan pemilu bisa berjalan dengan lancar, damai dan penuh dengan kedewasaan semua pihak. Calon-calon anggota dewan yang kalah bisa menerima dengan lapang, serta yang menang bisa menjalankan amanah. Pemilih juga tidak sekedar memilih, tapi tahu dan paham kenapa kita memilih. Ini semua demi kemajuan dan kedewasaan Negeri Ibu Pertiwi ini.
No comments:
Post a Comment