Sunday, 27 May 2018
Thursday, 24 May 2018
Tuesday, 8 May 2018
MASUKNYA
ISLAM DI NUSANTARA
A.
Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Menurut
satu pendapat Agama Islam masuk di Nusantara sekitar abad VII dan VIII masehi.
Hal ini didasarkan kepada berita cina yang menceritakan renacana serangan
orang-orang Arab. Dinasti Tang di Cina juga memberitakan bahwa di Sriwijaya
sudah ada perkampungan muslim yang mengadakan hubungan dagang dengan cina.
Pendapat lainnya mengatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke 13, hal
ini di dasarkan pada dugaan keruntuhan Dinasti Abasiyah (1258 M), berita
Marcopolo (1292 m), batu nisan Sultan Malik As Saleh (1297), dan penyebaran
ajaran tasawuf. Agama Islam masuk di nusantara dibawa oleh para pedagang muslim
melalui dua jalur, yaitu jalur utara dan jalur seletan. Melalui jalur utara
dengan rute : Arab (Mekah dan Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (pantai
barat India) – Nusantara. Melalui jalur selatan dengan rute : Arab (Mekah dan
Madinah) – Yaman - Gujarat (pantai barat India) – Srilangka – Nusantara. Cara penyebaran Islam di Nusantara dilakukan
melewati berbagai jalan diantaranya adalah melalui perdagangan, sosial, dan
pengajaran.
1.
Perdagangan
Para
pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil
bagian dalam lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Barat, Asia Timur,
dan Asia Tenggara pada abad ke-7 samapai abad ke 16. Para pedagang muslim itu
akhirnya singgah juga di Indonesia , dan ternyata yang mereka lakukan bukan
hanya berdagang, tetapi juga berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Saat
berdagang mereka menunjukan pribadi muslim yang baik, berbudi luhur, jujur,
amanah, dan dapat dipecaya. Hal tersebut menjadi daya tarik yang utama sehingga
banyak orang yang sukarela masuk Islam tanpa paksaan.
2.
Hubungan Sosial
Para
mubaligh yang menyebarkan Islam di nusantara ternyata tidak hanya aktif
berdagang, merekapun aktif dalam kegiatan sosial yang ada di lingkungan mereka
tinggal, bahkan sebagain dari mereka ada yang menetap di lingkungan tersebut
karena mereka menikah dengan penduduk setempat. Banyak hal yang dilakukan para
mubaligh dalam kegiatan kemasyarakatan, merekapun mengajarkan tentang persamaan
hak tidak ada perbedaan satu sama lainnya karena kemulaian manusia tidak
ditentukan oleh kastanya kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah. Islam
mengajarkan agar umatnya saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang
kuat membantu yang lemah, dan sebagainya. Sehingga dengan ajarann ini
menyebabkan Islam semakin mudah diterima masyarakat karena ajrannya sangat
luhur.
3.
Pendidikan dan Pengajaran
Ajaran Nabi Muhammad
SAW. Tentang “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”, menjadi motivator
para mubaligh Islam pada saat itu untuk semakin bersemangat menyempaikan ajaran
Islam. Disetiap kesempatan para mubaligh menyampaikan ajaran Islam kepada
masyarakat sekitar melalui pendidikan dan pengajaran dengan menggunakan mushala,
rumah salah seorang warga, bahkan tempat terbuka seperti di bawah pohon rindang
sebagai tempat untuk
B.
Teori Tentang Kedatangan Islam Ke
Indonesia
Proses
masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat,
dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut
para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi
menjadi:
a.
Teori Mekah
Teori
Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari
Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad
ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah
atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan
pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan
para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak
langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah
sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan
orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi, melainkan didorong oleh
motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur
perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh
masehi.
b.
Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India
bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori
ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan
teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19.
Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan
Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke
Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan
pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur,
termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini
dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje.
Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua
India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan
Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan
orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini
kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad SAW yang menggunakan gelar “sayid”
atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori
Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan
argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17
Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan
makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur,
memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat,
atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei
yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
c.
Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein
lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain:
tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam
tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil
dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah
ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar
dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan,
keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai
bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas
politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan
teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan
yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa
umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di
Iran.
d.
Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses
kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau
Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum
Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok
telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan,
ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru
berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan,
menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao,
Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman
Islam.
Teori
Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal
(babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat
tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari
Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa,
Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan
Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis
dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”,
“Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel”
ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang
berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti
lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang
didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa.
Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut
catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri.
Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori
tersebut.
Subscribe to:
Posts (Atom)